Jejak Luka di Tanah Leluhur
Oleh: Adriani Miming
Sore yang syahdu nan jingga itu membawa suasana yang begitu hangat di kampung Leleng. Anak-anak bermain ria di halaman luas kampung itu, tepat di depan rumah gendang yang merupakan sebutan untuk rumah adat kampung Leleng. Para tetua kampung itu seperti biasa, pada sore hari sehabis berkebun mereka bersantai di depan teras rumah dengan secangkir kopi. Entah hanya sekadar menikmati permainan anak-anak di halaman ataupun mereka saling bersilaturahmi dan ngobrol santai, atau yang sering disebut di kampung ini yaitu budaya Lejong (silaturahmi) yang lekat dalam kehidupan mereka.
Di sudut lain, Budi, seorang pemuda kampung Leleng, duduk di teras rumahnya sambil menyeruput kopi hangat. Tangan kirinya memegang ponsel, matanya terpaku menelusuri laman berita dari media lokal. Budi adalah pemuda terdidik, baru saja meraih gelar sarjana Pendidikan, namun ia memilih kembali ke kampung halaman untuk bertani kemiri bersama keluarganya. Baginya bertani bukan pekerjaan remeh, melainkan warisan nilai dan kebangggaan yang mesti dijaga.
Namun, sore itu, seruputan kopi manisnya berubah getir. Sebuah berita dari media lokal menghentak pikirannya. "Besok, Bupati bersama rombongan PLN akan mengunjungi kampung Leleng untuk berdialog terkait proyek geotermal," tulis media itu. Dalam sekejap, jemari Budi mengetik pesan ke grup WhatsApp pemuda Leleng, membagikan tautan berita tersebut. Pesan itu menjadi percikan yang menyulut pertemuan darurat malam itu di rumah gendang Mocak, salah satu rumah adat di kampung Leleng.
Malam itu, suasana di rumah gendang Mocak dipenuhi ketegangan. Para pemuda, tetua adat, dan warga berkumpul membahas langkah menghadapi kunjungan yang sudah di depan mata. Proyek geotermal ini telah lama menjadi duri dalam daging. Sebagian besar warga, terutama komunitas adat gendang Mocak, menolak proyek tersebut dengan alasan merusak lingkungan dan mengancam keutuhan ruang hidup yang secara adat sudah terpola dengan baik. Adat kampung Leleng tidak bisa lepas dari konsep keutuhan alam, sperti yang sering disebut dengan Lampek Lima (lima pilar dasar hidup orang kampung Leleng). Lampek Lima tersebut mencakup; Mbaru Bate Kaeng (rumah), Natas Bate Labar (halaman), Compang Bate (mezbah persembahan), Uma Bate Duat (kebun), Wae Bate Teku (mata air). Jika salah satu pilar ini hilang, berarti keutuhan hidup masyarakat adatnya sudah rusak. Lain hal dengan komunitas adat gendang Musar yang memilih untuk mendukung proyek itu, memandangnya sebagai jalan menuju kemajuan dan kemakmuran.
"Kita harus bertindak besok!" seru Budi lantang di tengah diskusi. "Ini bukan hanya soal tanah, tapi juga martabat kita sebagai penjaga adat leluhur."
Keputusan pun diambil. Esok pagi, komunitas adat gendang Mocak akan menghadang rombongan Bupati di pintu masuk kampung. Malam itu, Budi memimpin kelompok pemuda menyiapkan spanduk-spanduk penuh semangat perlawanan. Kalimat seperti "Tanah Leluhur Bukan untuk Dijual" dan "Selamatkan kampung Leleng dari Kerusakan" tertulis dengan tinta tebal, menandakan tekad yang tak tergoyahkan.
Bagi Budi dan kawan-kawan, perjuangan ini bukan hal baru. Sebelumnya, mereka sudah melayangkan protes langsung ke lokasi rencana pengeboran saat tim survei dari PLN datang. Sikap mereka pun telah menyebar luas melalui media sosial, menjadi sorotan banyak pihak.
Malam semakin larut, tapi semangat di rumah gendang Mocak tak meredup. Budi memandang wajah-wajah muda di sekitarnya dengan penuh keyakinan. "Esok kita mungkin dihadapkan pada kekuatan besar. Tapi ingat, tanah ini bukan hanya milik kita. Ini adalah warisan leluhur, yang harus kita jaga untuk anak cucu kita,” terang Budi.
Suasana yang semula riuh dengan diskusi mulai mereda ketika Tetua Gendang Mocak, Pak Langu, berdiri dengan tongkat kayu berukir di tangannya. Kerut wajahnya yang penuh wibawa memantulkan cerita panjang sejarah kampung mereka.
"Dulu," ujar Pak Langu dengan suara berat dan berwibawa,
"leluhur kita telah membuat perjanjian suci. Sebuah ikrar yang diwariskan turun-temurun untuk menjaga tanah ini. Selama Lampek Lima tetap utuh, hidup kita akan seimbang, selamat, dan sejahtera. Tetapi, jika salah satu pilar itu dirusak atau dijual, keseimbangan akan hancur, dan hidup kita pun akan dipenuhi musibah."
Semua yang hadir terdiam, merasakan hawa sakral menyelimuti ruangan. Pak Langu melanjutkan dengan nada yang lebih rendah namun sarat makna.
"Leluhur telah berpesan, siapa yang mengkhianati tanah ini, yang menyetujui kerusakan ruang hidup adat, maka ia tidak hanya berhadapan dengan hukum manusia, tetapi juga dengan ganjaran dari alam dan leluhur sendiri. Mereka akan menerima balasan yang pasti membahayakan hidup mereka. Sudah ada yang membuktikan itu di masa lalu." Sejenak Pak Langu terdiam, memandang tajam ke seluruh ruangan.
"Kita tidak ingin ada yang mengalami itu lagi. Maka malam ini, kita bersumpah kembali: Teguh menjaga tanah leluhur dan menolak segala bentuk kerusakan, termasuk proyek geotermal ini." Seluruh hadirin menundukkan kepala.
Sebuah keheningan panjang menyelimuti rumah gendang Mocak. Bagi mereka, ini bukan sekadar pembicaraan biasa, melainkan komunikasi tiga arah antara sesama warga adat dan para leluhur yang seolah hadir di ruangan itu.
Budi, yang biasanya lantang, hanya bisa menatap tanah dengan penuh hormat. Baginya, perjuangan ini kini bukan hanya soal protes sosial, tetapi juga tentang menjaga kehormatan adat dan tidak menanggung dosa melanggar sumpah leluhur.
Suasana kembali hening, tetapi kali ini penuh dengan rasa persatuan yang kokoh. Bagi Budi dan seluruh warga kampung Leleng, malam itu menjadi malam sakral yang meneguhkan hati mereka untuk menghadapi esok dengan tekad yang tak tergoyahkan. Esok adalah hari di mana jejak perjuangan akan tercatat, meski diiringi luka di tanah leluhur mereka.
keesokan harinya, tepat pukul 09.00 semua orang berbondong ke titik kumpul aksi. Situasi ini juga tidak kalah ramai rombongan dari komunitas adat gendang Musar yang setuju dengan proyek tersebut, berbondong ke lokasi yang sama untuk melakukan penerimaan secara adat kepada Bupati yang hendak berkunjung pada hari itu.
Suasana mulai tegang dengan keberadaan dua kelompok yang saling berlawanan pada satu titik kumpul yang sama. Warga adat dari komunitas gendang Mocak terlebih dulu mengambil posisi sebagai masa penghadang kedatangan Pemda dan perusahaan pada hari itu. Atribut aksi, mulai dari spanduk dan poster-poster yang sudah disiapkan dari semalam, juga alat pengeras suara untuk membantu mereka menyampaikan pendapat secara lantang saat aksi berlangsung. Sedangkan di satu sisi lokasi itu dipenuhi oleh warga adat Gendang Musar, dengan atribut adat resmi juga selendang tenun yang sudah dipersiapkan untuk pengalungan Bupati.
Sirene mobil polisi sudah terdengar jelas di titik lokasi penghadangan itu. Tanda bahwa rombongan Bupati serta perusahaan yang dikawal ketat oleh aparat kepolisian akan segera sampai.
“Saya meminta kawan-kawan juang sekalian untuk berdiri tegak di depan dan angkat semua poster.” Seru Budi kepada kawan-kawan muda Peduli Kampung Leleng.
Semua masa termasuk orang tua dan ibu-ibu yang ikut menolak proyek itu mengambil posisinya masing-masing. Sedangkan komunitas Gendang Musar bingung dengan formasi yang dibentuk oleh warga adat Gendang Mocak di lokasi itu.
“Woe..anak muda!!!” Seru seorang tetua adat Gendang Musar kepada Budi yang tengah memegang pengeras suara.
“Caramu tidak beradab dalam menerima tamu terhormat. Itu bukan budaya yang ada di kampung ini. Kita akan menerima Bupati dan rombongannya dengan tata cara adat resmi. Mengenai aspirasi dari kita, sebentar akan ada kesempatan untuk berbicara saat musyawarah berlangsung” Lanjutnya dengan suara lantang dan sedikit amarah.
“Kami tidak mau ada lagi musyawarah dengan pemerintah. Sudah beberapa kali musyawarah dan kami masih pada sikap yang sama, tetapi tetap saja proyek itu dipaksakan untuk bangun di kampung ini.” Jawab seorang ibu yang ada di tengah kerumunan itu.
Lalu diikuti seruan ramai dari warga mendukung pernyataan ibu itu.
“sepakat!! sepakat!!” Seru warga adat Gendang Mocak.
“Lebih baik kami dianggap tidak beradab demi mempertahankan warisan leluhur, daripada dinilai beradab ketika menyembah pemerintah yang merusak peradaban.” Tegas Budi.
Pernyataan Budi membakar semangat kawan-kawan dan warga adat Gendang Mocak. Semua bersorak mendukung penuh pernyataan Budi.
Mobil Polisi sudah nampak depan mata dan diikuti mobil dinas Bupati dan mobil-mobil lain dari perusahaan. Serentak polisi turun dari mobil ketika melihat kerumunan warga yang masing-masing mengangkat spanduk menolak proyek geotermal, sekaligus menolak kedatangan Bupati di kampung itu.
“Ayo rapatkan barisan kawan-kawan!” perintah Budi kepada massa aksi.
Jangan biarkan ada celah yang bisa dilewati oleh kroni-kroni ini. Kita di kampung Leleng ini tidak menerima pemimpin perusak alam dan warisan leluhur.” Lanjut Budi.
“sepakat!” Warga adat Gendang Mocak bersorak.
Seorang Polisi yang terlihat senior dari polisi-polisi lain, berupaya membuka jalan di tengah kerumunan warga untuk membiarkan Mobil Bupati lewat.
“Tolong buka jalannya. Biarkan Pak Bupati lewat. Tolong!” Teriak polisi senior tersebut.
Warga adat Gendang Mocak tetap bersikeras untuk tidak memberi celah sedikitpun untuk mobil Bupati dan rombongannya. Terpaksa Bupati menginstruksikan rombongan untuk turun di lokasi penghadangan itu. Semua rombongan satu persatu keluar dari mobil masing-masing. Begitu juga dengan Bupati sendiri keluar dengan muka tampak datar.
“Beginikah cara kalian menerima tamu? Tanya Bupati
“Saya datang dengan baik-baik. Atau adakah hal yang kalian lihat jahat dari kedatangan saya? lanjutnya.
“Bukankah suatu kejahatan ketika memaksa kehendak rakyat pak?” Budy menjawab dengan pertanyaan retorisnya.
“Kami pikir bapak tidak perlu repot-repot turun langsung ke lokasi hari ini, kalau bapak benar-benar mendengar hasil rapat dengan perusahaan (PLN) sebelumnya yang isinya kami menolak pengeboran geotermal itu di kampung ini. Namun, rupanya Bapak belum puas dan hari ini Bapak datang dengan alasan kunjungan kerja dan mau mendengar aspirasi dari masyarakat. Itu tidak perlu lagi pak. Kami sudah tegaskan bahwa kami menolak Proyek ini.” Budy berorasi tepat berhadapan langsung dengan Bupati.
“Kalau begitu mari kita bicarakan ini dengan baik di ruang musyawarah sebentar.” Bupati mencoba menyela orasi Budy.
“Kami tidak butuh musyawarah. Kami tetap tolak Geotermal. itu suara kami,” tegas Beno Sigan salah seorang dari antara pemuda kampung Leleng, sambil mengangkat tangan kirinya yang menandakan perlawanan.
Di tengah Beno Sigan lanjut berorasi di depan Bupati dan rombongannya, anak muda yang lain mengatur barisan agar tetap rapat dan tidak ada celah jalan masuk. Sedangkan beberapa pemuda yang lain sibuk mengambil video dengan ponsel masing-masing untuk mengabadikan momen itu.
“Tangkap saja mereka!” perintah sang polisi senior itu kepada anggotanya.
“Amankan dalam mobil!” lanjut si polisi tua itu.
Serentak pasukan itu serbu bak sekawan anjing pelacak yang siap menyergap. Melihat situasi itu Budi langsung lari berusaha menyelamatkan teman-temannya yang ditangkap paksa sambil sesekali dipukul karena sempat berontak. Belum sempat menolong temannya, Budi ditangkap oleh beberapa oknum polisi dan diborgol bawa ke mobil keranjang.
Situasi berubah panas dan ricuh. Beno Sigan serentak melepaskan microphon yang ada di tangannya dan segera lari untuk menyelamatkan teman-temannya yang ditangkap, nasib serupa juga terjadi padanya. Beno ditangkap dan dibawa ke mobil keranjang bersama dengan teman-temannya. sementara di lokasi penghadangan warga saling dorong dengan polisi. Ada begitu banyak tindakan represif yang terjadi dengan warga. Beberapa orang tua dipukul dan ditendang karena berusaha melawan dan menyelamatkan anak mereka yang ditangkap.
Beno Sigan dan 4 temannya yang lain hanya bisa saksikan di balik celah mobil keranjang.
“Di mana Budi? Dimana teman-teman yang lain?” tanya Beno dengan wajah panik dan tahan amarah.
“teman-teman lain berhasil lari entah kemana,” jawab salah satu dari antara mereka.
“Budi, mana budi?” tanya Beno lagi.
“Budi ditangkap, tapi dia disekap ke dalam mobil yang berbeda dengan kita” jawab Roni, sambil usap wajahnya yang penuh dengan keringat bercampur darah dari luka yang menyilang dahinya.
Di sisi lain Budi yang lemah karena beberapa kali kena pukulan tajam dari oknum polisi yang menangkapnya. Dia menyadari dirinya berada di sebuah mobil Avanza milik salah satu pejabat perusahaan yang datang di lokasi itu. Budi mengangkat kepalanya ke kaca jendela mobil dan menyaksikan ibunya menangis memohon kepada polisi untuk membebaskan anaknya. Melihat itu, air mata Budi tidak tertahan lagi. Di tengah situasi itu, Budi tidak lupa memperhatikan ayahnya. Namun, ayah Budi tidak melihat batang hidungnya di antara kerumunan itu. Sementara tadi jelas berangkat dari rumah bersama-sama.
“Tenang bapak ibu sekalian. Kami menangkap mereka demi kedamaian,” lagi-lagi polisi senior itu berusaha menjelaskan.
Sementara Bupati dan rombongannya tetap memaksa berjalan menuju tempat pertemuan melewati celah-celah kecil di tengah kegaduhan itu. Rombongan itu dikawal ketat oleh beberapa polisi. Sedangkan beberapa polisi lainnya sibuk menjaga tahanan anak muda yang ada dalam mobil keranjang.
Setelah rombongan Bupati beserta pihak perusahaan sudah berhasil melewati kerumunan warga, mereka langsung menuju rumah adat Gendang Musar untuk mengadakan musyawarah. Sementara Beno Sigan dan keempat temannya yang ditahan dalam mobil, segera melaju menuju jalur keluar kampung itu.
“Kami mau dibawa ke mana, Pak?” tanya Beno dengan nada heran.
“Untuk sementara kalian kami amankan ke Polres,” jawab seorang polisi yang duduk bersama mereka di mobil tersebut.
“Kami tidak perlu diamankan, Pak. Kami masih aman-aman saja. Justru kami tidak aman kalau diperlakukan seperti ini,” tegas Beno dengan nada protes.
“Nanti kalian jelaskan di kantor polisi,” jawab polisi itu datar.
Beno dan teman-temannya hanya menunduk dengan wajah letih, pasrah menerima keadaan. Sementara itu, Budi yang turut ditahan dalam mobil milik salah satu anggota perusahaan, duduk dengan tangan terborgol. Wajahnya tampak lelah, mencerminkan fisik dan pikiran yang terkuras saat berusaha mencerna segala situasi kejam yang menimpa dirinya serta warga adat dari komunitas gendangnya.
Seorang pemuda berpakaian rapi tampak duduk di kursi sopir mobil itu. Dia adalah salah satu staf Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dengan ekspresi datar, dia memantau Budi yang duduk di kursi belakang melalui kaca spion sambil memegang rokok di tangan kanannya.
“Pak, teman-teman saya dibawa kemana?” tanya Budi.
“Untuk sementara mereka diamankan ke polres,” jawab pemuda itu tanpa ekspresi.
“Mereka salah apa, Pak?” tanya Budi dengan nada heran.
“Pak, tolong lepaskan saya. Saya mau menyusul teman-teman saya,” pinta Budi dengan nada memohon.
“Sudahlah, Budi. Duduk manis saja di mobil sambil menunggu musyawarah selesai. Jangan buang energimu untuk mencari teman-temanmu. Mereka aman di tangan polisi,” ujar pemuda itu dengan nada tenang.
“Tapi, Pak, saya salah satu bagian dari mereka. Mengapa saya masih di sini?” tanya Budi dengan nada ngotot.
“Tenang, Budi. Kamu aman di sini. Tunggu sampai musyawarah selesai, lalu kami akan melepaskanmu,” jawab pemuda itu dengan santai.
Budi semakin bingung dengan kenyataan bahwa dirinya ditangkap dan disekap di mobil yang berbeda dari teman-temannya. "Ada apa sebenarnya ini?" gumamnya dalam hati. Ia kembali larut dalam kekhawatiran memikirkan teman-temannya yang dibawa ke kantor polisi. Ingatannya berusaha merekam kembali tindakan represif anggota kepolisian terhadap mereka. Dada Budi terasa sesak menahan tangis yang bercampur emosi. Ia hanya bisa pasrah tenggelam dalam memori buruk tersebut.
Pemuda berwajah datar yang menjaga Budi di dalam mobil tiba-tiba menerima panggilan telepon. Dari ujung telepon, seseorang memerintahkannya untuk melepaskan Budi karena musyawarah telah selesai.
"Baik, siap laksanakan," jawab pemuda itu dengan tegas.
Pemuda itu bergegas turun dan pindah ke bangku belakang untuk melepaskan borgol di tangan Budi.
“Silahkan turun dari mobil dan kembali ke rumah. Musyawarah sudah selesai,” pinta pemuda itu kepada Budi.
Tanpa basa-basi, Budi turun dari mobil dan berlari menuju Gendang Musar. Setibanya di sana, ia melihat orang-orang baru saja keluar dari rumah Gendang. Sepertinya musyawarah memang telah selesai. Ibu-ibu dan sebagian besar massa aksi dari Gendang Mocak masih berkumpul di sekitar tempat itu, tetap teguh menolak proyek geotermal. Namun, di sisi lain, Bupati beserta rombongannya keluar dengan wajah penuh kegembiraan, mungkin menandakan bahwa warga adat Gendang Musar telah menyetujui proyek tersebut. Rombongan itu tampaknya mengambil keputusan sepihak tanpa memedulikan suara-suara penolakan dari warga Gendang Mocak.
Budi yang kebingungan menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan ibunya. Beberapa ibu menghampirinya dengan wajah cemas, menanyakan keberadaan anak-anak mereka yang ditangkap, sambil terisak sedih.
“Nak, di mana Beno dan yang lainnya?” tanya ibu Beno dengan suara bergetar.
Budi terdiam sesaat, matanya mulai basah. Air matanya akhirnya tumpah, tak mampu menahan tekanan situasi yang terjadi.
“Mereka baik-baik saja, kan, Nak?” tanya seorang ibu lain dengan nada mendesak, wajahnya penuh ketakutan.
Budi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab, “Saya minta maaf tidak bisa memastikan mereka tetap baik-baik saja, tapi kabarnya mereka dibawa ke Polres.”
Mendengar jawaban itu, kegelisahan semakin menyelimuti wajah para orang tua. Tangis dan kekhawatiran menyelimuti suasana. Sementara itu, Budi berusaha menenangkan mereka dan berpikir keras mencari solusi agar teman-temannya bisa segera kembali dengan selamat.
Budi melirik ke sudut Rumah Gendang Musar dan mendapati ibunya tengah menangis terisak. Tanpa ragu, ia segera menghampiri dan memeluk ibunya dengan erat.
“Bu, maafkan Budi,” ucapnya penuh rasa bersalah.
“Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” tanya ibunya dengan suara bergetar, matanya memeriksa kondisi Budi.
“Budi aman, Bu,” jawabnya lembut, berusaha menenangkan ibunya.
“Ayo, kita pulang, Bu,” pinta Budi dengan nada lembut.
“Tunggu bapakmu. Dia ada di dalam Gendang Musar, tadi ikut musyawarah,” jawab ibunya.
Budi terdiam sejenak, hatinya diliputi kebingungan dan keheranan atas sikap ayahnya. Tatapannya kemudian tertuju ke pintu Gendang Musar, tempat orang-orang berbondong keluar dari musyawarah. Ia menyaksikan ayahnya dengan wajah penuh tawa riang berjabat tangan dengan Bupati. Pemandangan itu terasa janggal dan tak terduga bagi Budi, meninggalkan rasa tak nyaman di dadanya.
Budi bergegas pulang bersama ibunya dengan langkah terburu-buru. Sesampainya di rumah, ia segera merogoh ponsel dari saku dan membuka grup WhatsApp Pemuda Leleng. Tanpa menunda, Budi mengajak anggota grup untuk mengadakan rapat malam itu di Rumah Adat Gendang Mocak.
Selain itu, Budi juga menghubungi beberapa tokoh adat yang ia anggap berpengaruh di gendang tersebut agar turut serta dalam rapat. Pertemuan itu direncanakan untuk mencari solusi guna membebaskan Beno dan para pemuda lain yang ditangkap hari itu.
Malam itu, suasana di rumah Gendang Mocak dipenuhi ketegangan. Budi memimpin rapat darurat bersama para pemuda yang tersisa dan para tetua adat, termasuk ayahnya dan ayah Beno. Dengan nada serius, Budi mulai pembicaraannya.
“Kita harus mencari solusi agar saudara-saudara kita yang ditangkap aparat segera dibebaskan tanpa tekanan,” Ujarnya penuh kekhawatiran.
Ayah Budi menyarankan agar menunggu kepulangan mereka. Namun, ayah Beno langsung menyela dengan nada geram. “Itu solusi macam apa? Kau tak peduli karena anakmu selamat.”
Jangan bicara seolah-olah anda itu bagian dari orang sebelah yang setuju terhadap proyek ini,” sahut lanjut ayah Beno dengan nada agak menuduh.
Ayah Budi hanya diam, seolah pembicaraan itu tidak mengarah ke dirinya.
Ketegangan mereda saat Budi menengahi. “Kita tidak bisa diam. Besok kita datangi Polres dan desak pembebasan mereka.”
“kami setuju kalau kita besok ke kantor polisi untuk menjemput saudara kita” respon dari seorang anak muda yang mewakili suara anak muda lainnya.
“Baiklah, besok beberapa orang dari kita ini, termasuk saya, ikut ke polres untuk menjemput saudara kita,” Budi memutuskan.
Tiba-tiba ayah Beno menyela dan mengangkat tangan ingin berbicara.
“Nak Budi, bolehkah saya berbicara sedikit?”
“Boleh, silahkan. Kami selalu merindukan beberapa nasehat yang bisa menguatkan kami anak-anak kalian,” pungkas Budi
“Saya hanya ingin menekankan satu hal kepada kalian, anak-anak muda. Perjuangan ini masih panjang. jangan berhenti hanya karena tergiur uang. Ingat janji kita kepada leluhur untuk menjaga tanah ini. Siapapun yang mengkhianati janji itu, pasti akan menerima ganjarannya,” pesan ayah Beno penuh wibawa.
Begitu petuah itu selesai, ayah Budi tiba-tiba berdiri dan berjalan keluar tanpa sepatah kata. Tatapan semua orang tertuju padanya, namun Budi tetap tenang, seolah tak ingin ambil pusing. Dalam hatinya, ia berpikir ayahnya mungkin hanya merasa lelah dan ingin pulang lebih dulu untuk beristirahat.
Namun, tak lama setelah langkah ayah Budi menghilang dari pandangan, terdengar suara jeritan dari luar. Salah satu pemuda berlari masuk ke rumah Gendang Mocak dengan wajah panik.
"Cepat keluar! Ayah Budi... dia terjatuh di halaman!" serunya.
Semua orang bergegas ke luar. Di sana, di bawah temaram bulan, ayah Budi terkapar tak bergerak. Tubuhnya dingin, matanya menatap kosong ke langit. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Orang-orang terpaku, bingung, dan ketakutan.
Tiba-tiba, Pak Langu, tetua adat yang dihormati, melangkah maju. Wajahnya serius, dan suaranya bergetar saat ia berkata, "Dia dikutuk leluhur." Kerumunan terdiam.
Kata-kata Pak Langu terasa menggema, seolah-olah bukan hanya ia yang berbicara, tetapi juga suara dari masa lampau yang muncul melalui dirinya. Ibu Budi, yang baru tiba di lokasi, langsung berlutut di sisi suaminya. Tangisannya pecah, memecah kesunyian malam itu. Dengan suara lirih, ia berkata, "Ame Lopo, maafkan kami. Maafkan suami saya telah melanggar janji." Orang-orang saling memandang dengan cemas.
Ayah Budi, yang dikenal segar bugar tanpa riwayat penyakit apa pun, kini terbaring tak bernyawa. Hawa mistis semakin terasa. Beberapa orang menunduk, melantunkan doa dalam hati, meminta perlindungan kepada leluhur.
Budi berdiri kaku di antara kerumunan. Ia menatap tubuh ayahnya yang kini tak bernyawa, dengan hati yang campur aduk antara duka, kaget, dan takut. Dalam hatinya, ia tahu, malam ini bukan hanya tentang kehilangan seorang ayah, tetapi juga peringatan yang begitu nyata tentang harga yang harus dibayar ketika janji kepada leluhur dilanggar. Adriani Miming adalah penulis dan aktivis sosial yang akrab dengan kehidupan masyarakat adat dan perjuangan mempertahankan warisan budaya leluhur. Melalui karya-karyanya, Adriani mengangkat kisah-kisah lokal yang sarat dengan nilai-nilai kearifan tradisional dan realitas sosial kontemporer. Cerpen Jejak Luka di Tanah Leluhur adalah refleksi dari kepedulian Adriani terhadap isu lingkungan dan konflik antara kemajuan industri dengan kelestarian budaya.