Bahasa Tanah

(Foto: Dokumentasi Pribadi)

Angin sore dari lembah Poco Ranaka berhembus membawa aroma tanah basah. Lorens duduk di beranda rumah kayu peninggalan orang tuanya. Dari tempat itu ia memandang hamparan sawah, kebun kopi, dan hutan bambu yang bergoyang lembut diterpa angin. Suara ayam jantan, lolongan anjing, dan sahutan burung-burung seakan menyusun sebuah orkestra alam. Di telinganya, semua itu seperti bahasa—bahasa tanah yang sejak kecil dia kenal.

Lorens baru saja kembali dari kota. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan dan bekerja sebentar sebagai guru, ia memilih pulang. Ia ingin menulis dari kampung, menulis dengan bahasa tanah, bahasa yang menghidupkan setiap syair, setiap doa, dan setiap kisah leluhur. “Bahasa tanah harus tetap hidup,” begitu selalu ia bisikkan pada dirinya sendiri.

Namun kepulangannya juga membawa luka. Kampung halamannya tak lagi sama. Jalan-jalan tanah yang dulu berdebu kini berganti aspal. Pohon beringin di simpang tiga kampung ditebang demi pelebaran jalan. Dan dari kejauhan, suara mesin tambang bergemuruh, memecah sunyi yang dulu hanya diisi kokok ayam.

Lorens teringat masa kecilnya. Ia dan teman-temannya dulu bermain di natas bate labar, halaman rumah adat yang luas. Mereka berlari di bawah cahaya bulan, menari danding dengan gong dan gendang, dan menirukan syair-syair adat yang mereka dengar dari orang tua. Saat itu, tanah adalah halaman permainan, bahasa adalah napas. Semua terasa utuh.

Kini, anak-anak lebih suka menatap layar gawai. Bahasa Manggarai semakin jarang terdengar, digantikan bahasa Indonesia yang kaku, bahkan kadang bercampur bahasa asing. Lorens tak menentang kemajuan, tetapi ia merasa ada sesuatu yang pelan-pelan tergerus.

Suatu sore, ia menemui Ama Yustin, tetua adat. Mereka duduk di compang, lingkaran batu persembahan leluhur yang mulai ditumbuhi lumut.

“Ama,” tanya Lorens, “apakah orang-orang masih percaya tanah ini hidup?”

Ama Yustin menarik napas panjang, menatap jauh ke arah sawah yang menguning. “Tanah ini akan selalu hidup, Nak. Tapi kita yang sering lupa. Kita hanya melihatnya sebagai barang dagangan. Padahal tanah adalah tubuh kita. Dari tanah kita lahir, di tanah kita ditanam, di tanah pula kita berpulang.”

Lorens terdiam. Kata-kata itu menempel di benaknya.

Malam itu ia menulis. Ia menggambarkan tanah sebagai ibu yang sabar, bahasa sebagai napas, dan manusia sebagai anak-anak yang sering lupa pulang. Kata-kata mengalir deras:

“Hidup bahasa tanah bukan hanya menjaga kata-kata, melainkan menjaga akar yang membuat kita berdiri. Tanpa tanah, kita hanyalah daun kering terbawa angin. Tanpa bahasa, kita hanyalah tubuh bisu yang kehilangan sejarah.”

Tulisan itu ia bacakan di rumah baca kampung. Puluhan orang datang: anak-anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan tetua adat. Saat Lorens membacakan karyanya, ruangan menjadi hening. Beberapa anak muda menunduk, teringat betapa jarang mereka menggunakan bahasa ibu. Seorang ibu meneteskan air mata, mengingat tanah leluhurnya yang baru saja dijual.

Namun tidak semua setuju. Seorang bapak bernama Tua Goris berdiri dan berkata lantang, “Lorens, kata-katamu indah. Tapi kenyataan lebih keras dari syair. Kami butuh uang, butuh sekolah untuk anak-anak, butuh jalan untuk hasil panen. Apa gunanya bahasa dan tanah kalau perut kosong?”

Ruangan riuh. Sebagian mendukung Lorens, sebagian lagi mengangguk pada Tua Goris. Lorens hanya terdiam. Ia tahu, pertarungan antara perut dan akar memang selalu sulit.

Hari-hari berikutnya, alat berat semakin mendekat ke pemukiman. Sebidang ladang jagung milik keluarga tetangganya digusur. Anak-anak yang biasanya bermain di sana kini hanya berdiri di tepi jalan, memandang tanah mereka berubah menjadi tumpukan batu.

Lorens merasa perih. Ia lalu menulis artikel dan mengirimkannya ke media lokal. Tulisan itu berjudul “Bahasa Tanah yang Digusur”. Dalam tulisannya ia menegaskan bahwa modernisasi tidak boleh mengorbankan identitas. Artikel itu menyebar cepat, bahkan sampai ke kota besar di luar Flores. Namanya mulai dikenal.

Tetapi popularitas tidak membuat konflik berhenti. Di kampung, sebagian warga mulai menganggapnya penghalang pembangunan. “Lorens terlalu banyak bicara,” kata beberapa orang. Bahkan ada yang menyebutnya pemimpi yang tak tahu kebutuhan nyata.

Pada suatu malam, Lorens dipanggil oleh kepala desa. “Lorens,” ujar kepala desa dengan nada berat, “aku paham maksudmu baik. Tapi jangan lupa, orang-orang punya kebutuhan. Jangan sampai kata-katamu membuat mereka marah.”

Lorens menunduk. Ia sadar, perjuangan menjaga bahasa tanah bukan perkara mudah.

Beberapa hari kemudian, ia berjalan ke wae bate teku, mata air tempat orang kampung mengambil air. Di sana ia bertemu Maria, seorang gadis muda yang sering membantunya di rumah baca. Maria berkata pelan, “Kak, mungkin tak semua orang mengerti kata-katamu. Tapi kami, anak-anak muda, butuh orang seperti Kakak. Kalau tidak ada yang menulis, siapa lagi yang akan mengingatkan kami?”

Kata-kata itu menguatkan Lorens. Ia terus menulis, mengajar anak-anak membaca, dan menghidupkan kembali syair adat di rumah baca. Mereka menulis cerita, puisi, bahkan lagu dalam bahasa Manggarai. Perlahan, generasi muda mulai belajar mencintai akar mereka kembali.

Puncaknya terjadi pada upacara adat syukuran panen. Lorens diminta memimpin doa. Ia memulainya dalam bahasa Manggarai, dengan syair yang pernah diajarkan neneknya:

Wela agu ame, wa’i agu ine, tanah agu ai,
kami kembali bersyukur,
dari rahim-Mu kami lahir,
kepada rahim-Mu kami kembali.”

Suara itu bergema, menyatu dengan bunyi gong dan gendang. Orang-orang tertegun. Untuk sesaat, mereka merasakan kembali getar kehidupan lama yang hampir hilang.

Lorens tersenyum. Ia tahu, modernisasi tak bisa dicegah sepenuhnya. Namun ia percaya, selama ada yang berani menulis, berbicara, dan menuturkan kembali bahasa tanah, kehidupan itu takkan pernah padam.

Malam itu, di beranda rumah kayu, Lorens menatap langit berbintang. Pena di tangannya menari, menyusun kata-kata baru. Ia berbisik pada tanah yang diam namun hidup:

“Bahasa tanah, tetaplah hidup. Karena engkau adalah jantung yang membuat kami tetap manusia.”


Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org